Support

Sabtu, 21 Juli 2012

Tersenyum


Saya adalah ibu tiga orang anak (umur 14, 12, dan 3 tahun) dan baru
saja
menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah
Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif dengan kualitas yang saya
harapkan
setiap orang memilikinya. Tugas terakhir yang diberikannya diberi nama
"Tersenyum"



Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan tersenyum kepada tiga
orang
dan mendokumentasikan reaksi mereka. Saya adalah seorang yang mudah
bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang dan mengatakan
"hello",
jadi, saya pikir, tugas ini sangatlah mudah.



Segera setelah kami menerima tugas tersebut, suami saya, anak bungsu
saya,
dan saya pergi ke restoran McDonald's pada suatu pagi di bulan Maret
yang
sangat dingin dan kering. Ini adalah salah satu cara kami membagi waktu
bermain yang khusus dengan anak kami. Kami berdiri dalam antrian,
menunggu
untuk dilayani, ketika mendadak setiap orang di sekitar kami mulai
menyingkir, dan bahkan kemudian suami saya ikut menyingkir.



Saya tidak bergerak sama sekali .... suatu perasaan panik menguasai
diri
saya ketika saya berbalik untuk melihat mengapa mereka semua
menyingkir.



Ketika saya berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang
sangat
menyengat, dan berdiri di belakang saya dua orang lelaki tunawisma.



Ketika saya menunduk melihat laki-laki yang lebih pendek, yang dekat
dengan
saya, ia sedang "tersenyum".



Matanya yang biru langit indah penuh dengan cahaya Tuhan ketika ia
minta
untuk dapat diterima. Ia berkata "Good day" sambil menghitung beberapa
koin
yang telah ia kumpulkan. Lelaki yang kedua memainkan tangannya dengan
gerakan aneh sambil berdiri di belakang temannya.



Saya menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental dan
lelaki
dengan mata biru itu adalah penolongnya. Saya menahan haru ketika
berdiri di
sana bersama mereka.



Wanita muda di counter menanyai lelaki itu apa yang mereka inginkan.



Ia berkata, "Kopi saja, Nona" karena hanya itulah yang mampu mereka
beli.
(jika mereka ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh
mereka,
mereka harus membeli sesuatu. Ia hanya ingin menghangatkan badan).



Kemudian saya benar-benar merasakannya - desakan itu sedemikian kuat
sehingga saya hampir saja merengkuh dan memeluk lelaki kecil bermata
biru
itu. Hal itu terjadi bersamaan dengan ketika saya menyadari bahwa semua
mata
di restoran menatap saya, menilai semua tindakan saya.



Saya tersenyum dan berkata pada wanita di belakang counter untuk
memberikan
pada saya dua paket makan pagi lagi dalam nampan terpisah. Kemudian
saya
berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki
itu
sebagai tempat istirahatnya. Saya meletakkan nampan itu ke atas meja
dan
meletakkan tangan saya di atas tangan dingin lelaki bemata biru itu. Ia
melihat ke arah saya, dengan air mata berlinang, dan berkata "Terima
kasih."



Saya meluruskan badan dan mulai menepuk tangannya dan berkata, "Saya
tidak
melakukannya untukmu. Tuhan berada di sini bekerja melalui diriku untuk
memberimu harapan."



Saya mulai menangis ketika saya berjalan meninggalkannya dan bergabung
dengan suami dan anak saya. Ketika saya duduk suami saya tersenyum
kepada
saya dan berkata, "Itulah sebabnya mengapa Tuhan memberikan kamu
kepadaku,
Sayang. Untuk memberiku harapan."



Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan pada saat itu kami
tahu
bahwa hanya karena Rahmat Tuhan kami diberikan apa yang dapat kami
berikan
untuk orang lain.



Kami bukanlah orang-orang yang rajin ke gereja, tetapi kami adalah
orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Hari itu menunjukkan kepadaku
cahaya
kasih Tuhan yang murni dan indah.



Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah, dengan cerita ini
di
tangan saya. Saya menyerahkan "proyek" saya dan dosen saya membacanya.



Kemudian ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkan saya membagikan
ceritamu kepada yang lain?"



Saya mengangguk pelahan dan ia kemudian meminta perhatian dari kelas.
Ia
mulai membaca dan saat itu saya tahu bahwa kami, sebagai manusia dan
bagian
dari Tuhan, membagikan pengalaman ini untuk menyembuhkan dan untuk
disembuhkan.



Dengan caraku sendiri saya telah menyentuh orang-orang yang ada di
McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap jiwa yang menghadiri
ruang
kelas di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan satu
pelajaran terbesar yang pernah saya pelajari: MENERIMA TANPA BERSYARAT.

0 komentar:

Posting Komentar