Support

Sabtu, 21 Juli 2012

Kisah dermawan di kereta api Parahyangan




Sebagai pekerja ulang alik Bandung-Jakarta, kereta api Parahyangan dulu adalah sarana angkutan favorit saya, sebelum dibangunnya jalan tol Cipularang yang menyingkat waktu tempuh perjalanan dengan bus. Bertahun tahun saya jadi pelanggan setia kereta api legendaris ini, sampai hapal dengan awak keretanya, dan hapal pula dengan sesama pelanggan setia lainnya. Saat jadwal penumpang padat, hari Jum'at - Minggu, kita jarang dapat tiket duduk, sehingga berserakan di mana saja, asal bisa terangkut ke tujuan.

Dulu salah satu tempat favorit saya adalah gerbong barang atau dikenal dengan istilah BP. Ruangannya luas dan sering kosong karena memang jarang membawa barang. Cukup gelar tikar dan duduk dimana saja yang saya mau.

Karena sering naik di gerbong itu, akhirnya saya kenal dengan salah seorang penumpang aneh yang sering bertemu pada beberapa perjalanan. Ia adalah seorang lelaki tua yang sederhana. Menariknya, ia selalu membawa sekarung bawaan yang besar. Biasanya ada yang membantunya membawa karung-karung tersebut. Saya kira tadinya ia bawa barang dari Bandung utk dijual di Jakarta, atau sebaliknya. Tapi ternyata ketika melewati daerah tertentu, sekitar daerah Cikalong (jalur antara Purwakarta-Padalarang), ia membuka karung tersebut yang ternyata isinya berbagai macam makanan (roti bungkus, mie, dll).

Beliau lalu membuka pintu luar gerbong. Dan ternyata di pinggir rel telah banyak masyarakat kampung sekitar daerah tersebut yang menunggu berjejer. Karena hari telah gelap banyak yang membawa obor. Pemandangan aneh yang menarik karena hampir beberapa saat melewati jalur tersebut, dari kaca jendela kereta kita bisa melihat jajaran panjang orang-orang membawa obor. Indah sekali.

Seiring berjalannya kereta, Pak tua tersebut dengan dibantu “asisten” atau pegawai kereta, langsung membagi-bagikan makanan dalam karung yang dibawa kepada orang-orang yang berjejer sepanjang rel tersebut. Orang-orang di pinggir rel pun berebut menyambutnya. Makanan terus dilempar-lemparkan sepanjang rel tersebut, sampai habis makanan yang ada di karung tersebut. Setelah habis pintu kereta pun ditutup. Pak tua tersebut duduk kembali sambil menutup wajahnya atau menghindar. Para penumpang lain pada terheran heran dengan sikapnya itu. Saya pernah mencoba ngobrol dengan beliau. Tampaknya ia sangat tawadhu (rendah hati) tak mau menyombongkan diri, terlihat ia hanya ingin beramal secara ikhlas tanpa orang lain mengetahuinya.

Akhirnya saya pun ngobrol-ngobrol dengan petugas KA yang ada di sana menanyakan tentang Pak tua dermawan tersebut. Ternyata Pak tua tersebut memang selalu berbuat seperti itu kalau naik KA di jalur Jakarta - Bandung. Ia telah lakukan hal tersebut selama bertahun tahun lamanya. Ia tak ingin kedermawannya tersebut diketahui orang banyak, ia ingin benar-benar ikhlas beramal. Walau ia membeli tiket eksekutif, tapi biasanya ia duduk di bawah atau di gerbong barang. Masyarakat sekitar yang dilalui rel kereta tersebut pun sudah hafal dengan jadwal kereta yang ditumpangi Bapak tua tersebut. Karena itulah mereka hanya berjejer di sekitar rel pada saat-saat tertentu saja.

Saya sempat bertanya, kalau sering berderma seperti itu, dari mana uang nya? Sekaya apakah dia? Konon ia adalah seorang pengusaha kaya yang hidup sederhana, dan apa yang didermakannya itu, adalah sebagian keuntungan dari bisnisnya.

Sesampai kereta di Bandung, saya coba mengikuti dia. Ternyata ia tampil bersahaja dan seperti menghindar dari keramaian. Ia cepat-cepat keluar dari stasiun dan pulang ke rumahnya dengan menumpang angkot. Kalau lihat orangnya sekilas, pasti tidak ada yang percaya bahwa ia orang kaya yang dermawan.

Dari pegawai kereta saya tahu nama, bidang usaha dan lokasi tinggalnya. Tapi karena ia ingin tetap menjaga keikhlasan dari kedermawannya tersebut, tak baik juga diberitakan informasi tersebut. Biarlah hanya Tuhan dan malaikat yang tahu siapa dia.

Ini menyadarkan saya, ternyata di jaman materialis saat ini, masih banyak orang-orang kaya yang ikhlas beramal, orang-orang kaya yang hidup bersahaja.

Kini kereta Parahyangan tidak seramai dulu, karena penumpangnya banyak beralih ke angkutan bus via tol Cipularang yang lebih cepat dan praktis. Saya sendiri tak pernah naik kereta lagi. Tak tahu pula, apakah orang kaya dermawan itu, masih terus berderma di sepanjang rel kereta api itu...

0 komentar:

Posting Komentar