Support

Sabtu, 21 Juli 2012

Di Balik Cermin






Ketika saya masih kecil, kami tinggal di kota New York, hanya satu blok
dari rumah kakek-nenek saya. Setiap malam, kakek saya selalu melakukan
"kewajibannya," dan di setiap musim panas, saya selalu ikut dengannya.



Pada suatu malam, ketika Grandpa (kakek) dan saya sedang jalan kaki
bersama, saya menanyakan apa bedanya keadaan sekarang dengan dulu, ketika
dia masih kecil di tahun 1964. Grandpa bercerita tentang jamban-jamban
di luar rumah, bukan toilet mengkilap, kuda- kuda, bukan mobil,
surat-surat, bukan telepon, dan lilin-lilin, bukan lampu-lampu listrik.



Sementara dia menceritakan semua hal-hal indah yang sama sekali tidak
pernah terbayang di kepala saya, hati kecil saya mulai penasaran. Lalu
saya tanyakan kepadanya,"Grandpa, apa hal paling susah yang pernah
terjadi dalam hidupmu?"



Grandpa berhenti melangkah, memandang cakrawala, dan membisu beberapa
saat. Lalu dia berlutut, menggenggam tangan saya, dan dengan air mata
berlinang dia mengatakan: "Ketika ibumu dan adik-adiknya masih
kecil-kecil, Grandma (nenek) sakit parah dan untuk bisa sembuh, dia harus di
rawat di satu tempat yang namanya sanatorium, untuk waktu yang lama sekali.

Tidak ada orang yang bisa merawat ibu dan paman-pamanmu kalau aku
sedang pergi kerja, jadi mereka kutitipkan di panti asuhan. Para biarawati
yang membantuku mengurusi mereka, sementara aku harus melakukan dua atau
tiga pekerjaan untuk bisa mengumpulkan uang, agar Grandma bisa sembuh
dan semua orang bisa berkumpul lagi di rumah."



"Yang paling sulit dalam hidupku adalah, aku harus menaruh mereka di
panti asuhan. Setiap minggu aku mengunjungi mereka, tetapi para biarawati
itu tidak pernah mengijinkan aku mengobrol dengan mereka, atau memeluk
mereka. Aku hanya bisa memperhatikan mereka bermain dari balik sebuah
cermin satu arah. Aku selalu membawakan permen setiap minggu, berharap
mereka tahu itu pemberianku. Aku hanya bisa menaruh kedua tanganku di
atas cermin itu selama tiga puluh menit penuh, waktu yang mereka ijinkan
untuk aku melihat anak- anakku, berharap mereka akan datang dan
menyentuh tanganku. "



"Satu tahun penuh kulalui tanpa menyentuh anak-anakku. Aku sangat
merindukan mereka. Tetapi aku juga tahu bahwa itulah tahun yang lebih sulit
lagi bagi mereka. Aku tidak pernah bisa memaafkan diriku sendiri karena
tidak bisa memaksa biarawati itu mengijinkan aku memeluk anak-anakku.
Tetapi kata mereka, kalau diijinkan, itu malah akan lebih memperburuk
keadaan, bukan memperbaikinya, dan mereka akan menjadi lebih sulit
tinggal di panti asuhan itu. Jadi aku menurut saja."



Saya tidak pernah melihat Grandpa menangis. Dia memeluk saya erat-erat
dan saya katakan kepadanya bahwa saya memiliki Grandpa terbaik di
seluruh dunia dan saya sangat menyayanginya.



Lima belas tahun berlalu, dan saya tidak pernah menceritakan acara
jalan-jalan istimewa dengan Grandpa itu kepada siapapun. Dari tahun ke
tahun kami tetap rajin jalan-jalan, sampai keluarga saya dan kakek-nenek
saya pindah ke negara bagian yang berbeda.



Setelah nenek saya meninggal dunia, kakek saya mengalami penurunan
ingatan dan saya yakin itulah periode penuh tekanan baginya. Saya memohon
kepada ibu saya untuk memperbolehkan Grandpa tinggal bersama kami,
tetapi ibu saya menolaknya.



Saya terus merengek, "Ini kan sudah kewajiban kita sebagai keluarga
untuk memikirkan apa yang terbaik baginya."



Dengan sedikit marah, ibu membentak, "Kenapa? Dia sendiri sama sekali
tidak pernah perduli pada apa yang terjadi terhadap kami, anak-anaknya!"



Saya tahu apa yang ibu maksud. "Dia selalu memperhatikan dan menyayangi
kalian," kata saya.

Ibu saya menjawab," Kau tidak mengerti apa yang kau bicarakan!"



"Hal tersulit baginya adalah harus menaruh ibu dan paman Eddie dan
paman Kevin di panti asuhan."



"Siapa yang cerita begitu padamu?" tanyanya.



Ibu saya sama sekali tidak pernah membicarakan masa-masa itu kepada
kami.



"Mom, dia selalu datang ke tempat itu setiap minggu untuk mengunjungi
anak-anaknya. Dia selalu memperhatikan kalian bermain dari belakang
cermin satu arah itu. Dia selalu membawakan permen setiap kali dia datang.
Dia tidak pernah absen setiap minggu. Dia benci tidak bisa memeluk
kalian selama satu tahun itu!"



"Kau bohong! Dia tidak pernah datang. Tidak pernah ada yang datang
menjenguk kami."



"Lalu bagaimana aku bisa tahu soal kunjungan itu kalau bukan dia yang
cerita ? Bagaimana aku bisa tahu oleh-oleh yang dibawanya? Dia
benar-benar datang. Dia selalu datang. Para biarawati itulah yang tidak pernah
mengijinkan dia menemui kalian, karena kata mereka, akan terlalu sulit
bagi anak-anak kalau melihat ayahnya sudah harus pergi lagi. Mom,
Grandpa menyayangimu, dan selalu begitu!"



Grandpa selalu beranggapan anak-anaknya tahu dia berdiri dibalik cermin
satu arah itu, tetapi karena mereka tidak pernah merasakan kehangatan
dan kekuatan pelukannya, dia pikir mereka telah melupakan
kunjungan-kunjungannya. Sementara, ibu saya dan adik- adiknya beranggapan dia tidak
pernah datang mengunjungi mereka.



Setelah saya menceritakan kebenaran itu kepada ibu saya, hubungannya
dengan Grandpa mulai berubah. Dia menyadari bahwa ayahnya selalu
menyayanginya, dan akhirnya Grandpa tinggal bersama kami sampai akhir hidupnya.

0 komentar:

Posting Komentar